Selasa, 18 Agustus 2009

Refleksi Empat Tahun MoU Helsinki

Tanggal 15 Agustus besok, genap sudah empat tahun perjanjian damai antara Gerakan Aceh Merdeka (GAM) dengan pemerintah Republik Indonesia (MoU Helsinki). Aceh telah berbenah. Tak ada lagi konflik. Semuanya hidup dalam damai. Kehidupan pun membuncah, memancarkan gemerlapnya cahaya kebahagiaan. Namun, siapa sangka. Memorandum of Understanding (MoU) yang telah menghasilkan manifestasi dalam bentuk Undang-Undang Pemerintahan Aceh (UUPA) masih menyisakan tanya.

Sudah sejauh mana UUPA diterapkan dalam kehidupan masyarakat Aceh? Apa saja diperoleh rakyat Aceh dengan adanya UUPA?

Selama ini kita melihat hanya sebatas retorika belaka. Jauh panggang dari api. Berbagai qanun disiapkan. Bahkan sampai berburu Hasan Tiro ke negeri Sweden. Demi qanun penetapan status dak hak wali nanggroe. Namun seingat saya belum satu pun diterapkan. Karena belum ada Peraturan Pemerintah yang mengaturnya.

Suatu hari seorang tokoh masyarakat negeri ini bertanya pada saya. Hendak kemana negeri ini dibawa?. Mana manifestasi perjanjian damai itu. Apa yang sudah didapat dari UUPA? Mana self government? Peu sép gop peureumeuen mantong?. Plesetan yang cukup menggelikan. Namun kita tidak bisa menafikan. Itu adalah kenyataannya hari ini.

Kita tidak ingin terlalu jauh berbicara perpolitikan negeri ini. Lagi pula bukan ini tempatnya dan bukan saya pakarnya. Namun, saya hanya ingin sedikit mengingatkan kita semua. Bahwa 15 Agustus adalah momentum bersejarah bagi kehidupan bangsa Aceh. Sejarah berakhirnya konflik berkepanjangan. Sejarah melupakan masa lalu. Sejarah membuka lembaran baru.

Seberapa eratkah kita bisa menutup kisah masa lalu?. Melupakan masa silam. Merajut masa depan. Haruskah kita melupakan semua pengalaman kita. Yang telah membesarkan kita?

Tidak. Perdamaian Aceh saat ini adalah buah pengorbanan para syuhada bencana gempa alam dan gelombang Tsunami. Kedamaian kita adalah buah penderitaan pendahulu kita. Buah penderitaan para janda yang kehilangan suami. Buah penderitaan anak yatim yang ditinggal mati orang tuanya. Buah penderitaan korban konflik masa lalu. Yang begitu suram, memilukan, menyedihkan, tragis, dan penuh luka dan air mata. Lantas, akankah dengan sedikit kesenangan dan kedamaian yang kita kecap hari ini, kita akan dengan serta merta melupakan mereka? Dimana hati nurani kita?

Sudahkah semua ini tersurat dengan baik dalam UUPA? Dan qanun-qanun yang akan dibentuk nantinya? Atau jangan-jangan kita telah menjadi egois. Kita hanya memikirkan nasib diri kita. Bagaimana mendapatkan jatah yang besar dari bagi hasil pusaka bangsa (kekayaan alam Aceh)? Lantas, melupakan mereka yang hidup menderita. Melupakan tanggungjawab kita…

Ramadhan sudah di depan mata. Jangan sakiti mereka (janda dan yatim konflik). Jangan biarkan mereka meneteskan air mata.

Kalau pun peraturan dan perundang-undangan belum mengakomodir hak-hak mereka. Marilah kita yang berpunya mengulurkan tangan bagi mereka dan dhuafa-dhuafa lainnya. Kepedulian kita adalah kebahagiaan bagi mereka. Bukankah Rasulullah pernah bersabda, “barang siapa yang menyayangi yang di bumi. Maka yang dilangit akan menyayanginya”?

Momentum ulang tahun perdamaian Aceh hendaknya diisi dengan mengenang mereka yang telah tiada. Mengenang perjuangan dan penderitaan mereka. Menyantuni anak keturunan mereka yang hidup dalam derita. Apa lagi Ramadhan sudah di depan mata. Ingatlah, doa-doa mereka yang terdhalimi karena kita, akan sangat mudah diijabah oleh Allah subhanahu wata’ala…

Tidak ada komentar: